PROPOSAL
PENELITIAN
KEMAMPUAN
MEMAHAMI UNSUR INTRINSIK CERPEN “MERDEKA” KARYA PUTU WIJAYA
SISWA KELAS VII
SMP NEGERI 1 BAUBAU
Oleh
DARLIS
A2D1
09 168
JURUSAN
PENDIDIKAN SASTRA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1
Latar Belakang
Pembelajaran
sastra mempunyai peranan penting dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan
pendidikan dan pengajaran secara umum. Aspek-aspek yang di maksud adalah aspek
pendidikan, social, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan. Unruk mencapai
aspek-aspek itu, sudah barang tentu pembelajaran sastra haruslah memperhatikan
hal-hal yang terkait dengan pengajaran sastra itu sendiri.
Standar kompetensi pembelajaran bahasa Indonesia merupakan keualisifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan,
ketrampilan berbahasa, sikap posotif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan
merespon situasi local, regioanal, nasional, dan global. Hal ini menunjukkan
bahwa pembelajaran bahasa Indonesia secara baik dan benar, serta menumbuhkan
apresisasi terhadap hasil karya kesastraan.
Sunarti (2002: 15) menjelajaskan bahwa tujuan pembelajaran
sastra meliputi dua hal, yaitu memperoleh pengalaman sastra dan memperoleh
pengetahuan sastra. Tujuan memperoleh pengalaman sastra dapat di capai dengan
cara mengalami langsung atau melihat langsung hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan sastra. Misalnya, siswa di libatkan dengan kegiatan pembacaan karya
sastra, siswa mendengarkan bacaan hasil karya sastra, dan siswa di suruh
menulis karya sastra. Sementara itu, memperoleh pengetahuan tentang sastra
dapat di capai dengan cara menerangkan istilah-istilah sastra, bentuk-bentuk
sastra, dan sejarah sastra.
Sejalan dengan tujuan tersebut, pembelajaran sastra
mengharapkan peserta didik mampu mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang
lain serta mempunyai kemampuan analik dan imajinatif dalam dirinya untuk
menanggapi, mengkristis, dan merespon hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
Dengan demikian tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa memiliki
pengetahuan tentang sastra., mampu mengapresiasikan sastra, bersikap positif
terhadap nilai sastra, karena sastra adalah cerminan kehidupan dan dapat
mengembangkan kesusastraan Indonesia.
Salah satu bentuk karya sastra yang diajarkan pada siswa pada
jenjang SMP adalah pembelajaran tentang cerita pendek (Cerpen). Cerpen sebagai
prosa yang mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang pertikaian-pertikaian,
peristiwa yang mengharukan, atau menyenagkan, dan mengandung pesan yang tidak
dapat dilupakan. Cerpen sebagai cerita rekaan tentunya ditulis oleh pengarang
tidak terlepas dari realita yang terjadi di sekeliling pembaca. Realita inilah
yang dapat dipelajari oleh siswa dan mengetahui hikmah yang terkandung di dalam
cerpen tersebut untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Cerpen dibuat dengan
memperhatikan atau mengedepankan arti dan nilai yang cukup penting bagi
pembaca.
Mengingat pentingnya arti, nilai, dan fungsi kemampuan memahami
cerita pendek (cerpen), maka sudah sewajarnya pembelajaran sastra di sekolah
perlu dibina dan ditingkatkan agar siswa memiliki kemampuan memahami cerpen
dengan lebih baik. Hal ini penting dilakukan untuk mengembangkan diri siswa,
baik untuk melanjutkan pendidikan maupun kembali kemasyarakat. Dengan berbekal
pengetahuan dan kemampuan memahami karya sastra, khususnya cerpen, siswa dengan
mudah menghayati, mengambil manfaat dari peristiwa kehidupan serta semaki arif
dan bijaksana dalam berpikir dan bertindak. Siswa akan mampu mengomunikasikan
isi jiwanya, menghayati hidup dengan kehidupan dengan mengapresiakannya dalam
bentuk karya sastra khususnya dalam bentuk cerita pendek (cerpen).
Dalam kegiatan pembelajaran cerpen, siswa ridak hanya diarahkan
untuk memahami teori seperti mengenali cirri-ciri cerpen, unsur instrinsik
karya sastra (cerpen), tetapi pembelajaran sastra ini diarahkan untuk bagaimana
siswa mampu menemukan unsur instrinsik yang ada terkandung dalam cerpen
seperti, alur, latar, sudut pandang, tema, amanat, gaya bahasa, tokoh dan
lain-lain. Artinya pembelajaran sastra umumnya, dan cerpen khususnya siswa
diharapkan untuk memahami teori dan tindak mengabaikan praktik dan aplikasi
(kajian analisis).
Pembelajaran cerpen sebagai salah satu pembelajaran karya
sastrakepada siswa, tidak dapat diabaikan begitu saja, tetapi perlu
dipertahankan sejak dini agar siswa memiliki pengetahuan yang luas tentang
pemahaman dan penerapan unsur-unsur unstrinsik cerpen, hal ini penting untuk
dilakukan agar siswa mempunyai sikap positif terhadap hasil karya sastra berupa
cerpen.
Berdasarkan berdasarkan hasil observasi awal pada salah satu
kelas VII SMP Negeri 1 Bau Bau, siswa belum mampu memahami karya sastra secara
untuh. Pembelajaran sastra masih kurang, karena guru mengalami kesulitan dalam
megajarkan cerpen. Demikian juga teknik pembelajaran masih berpusat pada guru,
dalam arti siswa kurang diaktifkan dalam proses belajar mengajar. Selain itu,
guru kurang selektif dalam memilih media dalam pembelajaran, khususnya media
berupa cerpen yang sesuai dengan kondisi dan situasi siswa. Hal ini yang
mendorong penulis tertarik untuk meneliti kemampuan memahami unsur-unsur
instrinsik cerpen
1.1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan diatas, masalah dalam pemelitian ini adalah “Bagaimanakah kemapuan
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bau Bau dalam memahami unsur instrinsik carpen
“Merdeka” karya Putu Wijaya?”
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1
Tujuan
Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk
mendepkripsikan kwmampuan siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bau Bau dalam memahami
unsur instrinsik cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya.
1.2.2 Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebgai berikut.
1. Bagi
siswa hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu acuan
bagi peningkatan prestasi belajar pada aspek kesastraan Khususnya memahami
unsur intrinsic karya sastra.
2. Bagi
guru hasil penelitian ini dapat di manfaatkan untuk merancang pembelajaran
unsure instrinsik karya sastra khususnya cerpen yang lebih sempurna.
3. Bagi
peneliti lanjutan, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebgai salah satu
referensi atau masalah yang releven.
1.3
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini
adalah kemampuan siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Bau Bau dalam memahami unsur
instrinsik cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya. Unsur intrinsik yang dimaksud
adalah: tema, amanat, tokoh dan karakter tokoh, alur, latar, sudut pandang, dan
gaya bahasa.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pembelajaran Satra di SMP Kelas VII Berdasarkan KTSP
Pembinaan apresiasi sastra adalah pembinaan intelektual,
sosial, dan emosional siswa. Hal ini penting karena dengan pembinaan dan
pembelajaran sastra mampu menghasilkan peserta didik yang mampu mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, setra mempunyai kemampuan analitik
dan imajinatif dalam dirinya untuk mengkritisi dan merespon apa-apa yang
terjadi di sekitarnya. Dengan pembinaan Apresiasi sastra siswa mampu
mengapresiasikan sastra.
Pembelajaran apresiasi sastra pada dasarnya adalah suatu proses
panjang dalam rangka melatih dan meningkatkan keterampilan siswa. Pembelajaran
sastra lebih banyak dikaitkan dengan pengalaman lingkungan siswa sesuai dengan jenjang
tingkatan siswa dan pengalaman sehari-hari. Pada siswa diajak bergaul dengan
karya sastra agar dapat memahami karya sastra, nilai-nilai yang terkandung
dalam karya sastra, unsur-unsur intrinsic karya sastra, sehingga siswa dapat
menciptakan karya sastra.
Karya sastra yang baik bias membekali siswa denga sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra akan menjadi menarik karena di dalamnya
tedapat kenikmatan dan dapat dipahami. Pemahaman inilah yang dituntut dalam
pembelajaran sastra. Kalau ingin memahami karya sastra terlebih dahulu
ditanamkan ketertarikan terhadap karya sastra tersebut. Hal ini yang perlu
dijelaskan dan ditekankan kepada siswa karena pada dasarnya tanpa minat, kita
tidak akan dapat menikmati karya sastra yang disediakan.
Pembelajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen di SMP kelas
VII berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memuat kompetensi dasar
menggapai cara pembacaaan cerpen dengan indikator siswa harus menentukan
unsure-unsur dalam cerpen dan siswa dapat menagkat isi, pesan, dan suasana
dalamc cerpen (Depdiknas, 2006). Pembelajaran cerpen ini dilakukan dua kali
tatap muka atau atau sebanyak 160 menit (4x40 menit). Materi yang di sampaikan
pada pertemuan pertama adalah pembelajaran cerpen dengan indicator siswa mampu
menentukan unsure-unsur dalam cerpen, sedangkan pembelajaran cerpen dengan
indicator siswa dapat menangkap isi, pesan, dan suasana cerpen di sampaikan
pada tatap muka kedua. Metode yang digunakan dalam penyampaian materi di kelas
berupa metode ceramah, Tanya jawab, dan inkiri.
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pembinaan, pengajaran, dan apresiasi sastra dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
pembelajaran sastra agar sastra mampu menjadi sarana yang efektif dan efisien.
Mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki pengakuan dan idealism yang
tinggi tentang kesusastraan.
2.2
Pengertian Sastra
Pradotokusumu (2005:1) menjelaskan bahwa untuk mendefinisikan
apakah sastra bukanlah hal yang mudah. Hampir semua buku yang mempermasalahkan
sastra selalu di mulai dengan pernyataan “apakah sastra itu?” disusul dengan
perincian batasan-batasan serta tolak ukurnya. Hal yang paling mudah adalah
mencari karangan di dalam kamus. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia (Pradotokusumo, 2005:1) menyebutkan bahwa satra
mengandung pengertian sebagai berikut.
1. Bahasa
(kata-kata, gaya bahasa) yang di pakai di kitab-kitab ( Bukan bahasa
sehari-hari).
2. Karya
sastra, yang jika di bandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai cirri
keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi, dan
pengungkapan, drama, epic, dan lirik.
3. Kitab
suci (hindu) kitab (ilmu pengetahuan).
4. Pustaka,
kitab primbon (berisi ramalan,hitungan,dan sebagainya).
5. Tulisan
atau huruf.
Nursito (2000.1) mengemukalkan bahwa
kata “kesusastraan” berasal dari kata “susastra” yang memperoleh konfiks
“ke-an” mengandung makna “tentang” atau “hal”. Kata “susastra” terdiri atas
kata dasar sastra yang berarti tulisan yang mendapat awalan kehormatan “su”
yang berarti baik atau indah. Dengan demikian, secara etimologi, kata
“susastra” dapat berarti pembicaraan berbagai tulisan yang indah bentuk dan
isinya.
Keindahan bentuk hasil kesusastraan yang
kemudian lazim disebut sebagai karya sastra terlihat pada penampilan sosok
puisi, prosa, dan drama, baik yang tergolong kesusastraan lama, masa peralihan,
sampai kesusastraan modern, bahkan kesusastraan kontemporer pada masa mutakhir.
Dari kedua pendapat yang dikemukakan di
atas,dapatlah disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil bentuk ciptaan
pengarang yang bersifat indah, juga menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
kehidupan manusia. Karya sastra bukan sekedar dibaca dan dihayati sebgai
pengisi waktu, melainkan di dalamnya mengandung nilai-nilai yang bermakna bagi
kehidupan.
2.3 Apresiasi Sastra
Dalam buku Bahasa Indonesia Jilid I terbitan
pusat bahasa (2003:164) mengemukakan bahwa apresiasi dapat diartikan sebagai
usaha pengenalan suatu nilai terhadap nilai yang lebih tinggi. Apresiasi itu
merupakan tanggapan seseorang yang sudah matang dan sedang berkembang kea rah
penghayatan nilai yang lebih tinggi sehingga ia mampu melihat dan mengenal
nilai dengan tetap dan mendampinginya dengan hangat dan simpatik. Seseorang
yang memiliki apresiasi tidak sekedar yakin bahwa sesuatu yang dikehendaki
menurut perhitungan akalnya. Tetapi menghasratkan sesuatu itu berdasarkan
jawaban sikap ya gpenuh kegairahan untuk memilikinya.
Bertolak dari pengertian apresiasi
seperti yang dikemukakan di atas, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai
pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat
menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang
timbul sebagai akibat semua itu.
Dalam mengapresiasikan sastra, seseorang
akan mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang
dalam karya ciptanya. Hal ini dapat terjadi karena daya empati yang
memungkinkan pembaca kedalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan
menghayati pengalaman pengarang yang dilukiskan dalam karyanya dapat
menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca (1)
merasa mampu mengalami pengalaman orang lain; (2) merasa pengalamannya
bertambah hingga dapat menghadapi kehidupan dengan baik-baik; (3) merasa kagum
akan kemampuan sastrawan dalam memberikan, memadukan dan memperrjelas makna
terhadap pengalaman yang diolahnya; dan (4) mampu mengemukakan nilai-nilai
estetik dalam karya itu.
2.4 Pengertian Cerpen
Pengertian cerpen didasarkan pada
simpulan beberapa hasil bacaan. Sehingga dalam pengertian cerpen ini tidak di
sebutkan hali yang mengemukakaka pendapatnya, berdasarkan hasil bacaan penulis
menyimpulkan bahwa cerpen adalah prosa yang mengisahkan sepenggal kehidupan
tokoh yang penuh pertikaian peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan
mengandung kisah yang tidak mudah dilipakan. Cerpen adalah cerita fiksi yang
menggambarkan peristiwa yang dialami oleh seorang tokoh namun tidak
memungkinkan terjadinya nasib sang tokoh. Cerpen memiliki cirri-ciri sebagai
berikut.
1. Cerita
berbentuk fiksi.
2. Ceritanya
singkat dan padat.
3. Ceritanya
terpusat pada satu peristiwa/konflik.
4. Jumlah
dan pengembangan pelaku terbatas.
5. Keseluruan
cerita memberikan satu efek/kesan tunggal.
2.5 Unsur Intrinsik
Cerpen
Cerpen adalah salah satu karya rekaan
(fiksi), merupakan satu kesatuan yang terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur
ini saling berkaitan, tidak terpisashkan satu sama lain, dan
bersama-samamembentuk cerita Rusyana (1982:65).
Unsur intrinsic adalah isi dari sebuah
karya sastra yang berkaitan dengan kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu
sendiri yang menyebabkan karya sastra itu hadir (Nurgiyantoro 1998: 23). Unsure
intrinsik dari tema, amanah, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
dan gaya bahasa. Bagian-bagian tersebut
saling berkaitan karena merupakan satu rangkaian struktur yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Untuk menambah pemahaman tentang unsur
intrinsic yang membangun cerpen berrikut uraian penjelasannya..
2.5.1 Tema
Sebuah cerita yang baik tentu mempunyai
tema. Menurut Zulfahnur (dalam Wahid 2004 : 74) bahwa tema adalah ide yang
mendasari karya sastra. Tema merupakan salah satu dimensional yang amat penting
dalam suatu cerita, karena dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam
fantasinya tentang cerita yang akan dibuat.
Hendy (1991 : 31) menjelaskan bahwa tema
adalah pokok pengisahan dalam sebuah cerita. Cerita atau karya sastra yang
bermutu tidak lain karya sastra yang bermutu baik, yaitu mampuh menggugah
pandangan dan perilaku negative menjadi positif.
Nurgiantoro (2005 : 80) mejelaskan bahwa
tema adalah sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna. Maknah yang
mengikat keseluruan unsur cerita sehingga itu hadir sebagai sebuah kesatuan
yang padu. Berbagai unsure fiksi seperti alur, tokoh sudut pandang, latar dan
sebgainya berkaitan secara sinergis untuk bersama-sama mendukung eksitensi
tema. Dalam sebuah cerita tema jarang di ungkap secara eksplisit, tetapi
menjiwai keseluruhan cerita. Adakalanya, memang dapat ditemukan sebuah kalimat,
alinea dan kata-kata dialog yang mencerrminkan tema keseluruhan. Jadi, walaupun
eksistensi tema ini dalam sebuah ceritatidak diragukan, dan pada umumnya dapat
dirasakan, substansi kebenarannya harus ditemukan lewat pembacaan dan pemahaman
yang kritis.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa tema dalam sebuah cerita adalah ide sentral yang
mendasari suatu cerita, merupakan gagasan dasar umum yang menopang karya sastra.
Tema menjadi dasar pengembangan sebuah cerita dan ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita itu. Oleh karena itu, untuk menentukan sebuah tema karya
sastra. Haruslah disimpulkan dari seluruh cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu. Tema sebgai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara
sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca.
Sehingga kehadiran tema terimplisit dan memasuki keseluruan cerita, dan hal itu
pulalah antara lain yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. Penafsiran
tema depersyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruan.
2.5.2 Amanat
Berbicara tentang amanat cerita berarti
pembaca diperhadapkan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca lewat cerita yang ditampilkan. Amanat cerita biasanaya berisi ajaran
moral dan nilai-nilai kemanusian. Amanat pengarang ini terdapat secara implisit
dan eksplisit didalam karya sastra. Implisit misalnya disiratkan melalui
tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Eksplisit, bias di dalam, di tengah, dan di
akhir cerita pengarang menyampaikan pesan, saran, nasihat, dan pemikiran.
Dari paparan yang di kemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa amanat cerita adalah pesan yang disampaikan oleh
pengarang dalam sebuah cerita yang berisikan ajaran moral dan ajaran-ajaran kemanusiaan.
2.5.3 Tokoh dan
Penokohan
Tokoh merupakan unsur cerita yang sangat
penting, sebab tidak ada cerita tanpa kehadiran tokoh. Tokoh-tokoh dalam cerita
berrsifat unik, tokoh yang satu selalu berbeda dengan yang lainnya. Tokoh
inilah yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Dalam buku praktis Bahasa Indonesia Jilid I terbitan Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional (2003 : 142) disebutkan bahwa tokoh (character) dalah orang yamg memainkan peran tertentu dalam cerita.
Dalam prosa, tokoh, adalah orang yang menjadi pemeran yang menjalankan alur
cerita.
Dalam pemahaman yang disebutkan di atas
dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan tokoh dalam suatu cerita adalah
mereka yang memainkan peran atau yang mengalami peristiwa dalam sebuah cerita.
Tokoh merupakan unsure yang paling urgen dalam sebuah cerita karena tanpa
kehadiran tokoh, cerita menjadi tidak hidup.
Nurgiantoro (2005 : 74) mengemukakan
bahwa istilah tokoh dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Tokoh
adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi tokoh lain yang ditimpahkan kepadanya.
Dalam cerita tokoh bias berupa manusia, binatang atau makhluk atau objek lain
seperti makhluk lain (peri, hantu ) dan tumbuhan.
Tokoh cerita hadir di hadapan pembaca
membawa kualifikasi tertentu terutama yang menyangkut jatidiri. Adanya
identitas jatidiri itulah yang menyebatkan tokoh satu dengan yang lain. Menurut
lukens (dalam Nurgiantoro, 2005 : 75) tokoh itu sendiri dapat dipahami sebgai
seseorang atau sosok yang memiliki sejumlah kualifikasi mental dan fisik yang
membedakan dengan sosok atau orang lain.
Liverty (Tarigan, 1984 : 141)
mengemukakan bahwa penokohan atau karakteristik adalah proses yang di pergunakan oleh seseorang
pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya. Tokoh fisik harus dilihat
sebagai yang berbeda pada suatu masa dan tempat dan haruslah pula diberi
motif-motif yang masuk akal bagi segala sesuatu yang dilakukannya. Tugas
pengarang ialah membut tokoh-tokoh itu sebaik mungkin, seperti benar-benar ada.
Cara untuk mencapai tujuan itu tentu berabeka ragam, termasuk pemerian atau
analisis. Apa yang dikatakan atau yang dilakukan oleh para tokoh, cara mereka
beraksi dalam siuasi-situasi tertentu, apa yang dikatakakan oleh tokoh lain
atau bgaimana mereka beraksi terhadapnya.
Secara garis besar perwatakan tokoh atau
penokohan dapat diungkap lewat dua macam cara: (1) cara langsung (ekspositorik)
yakni cara lansung atau uraian (telling)
, mengungkapkan karakter tokoh secara langsung dan diuraikan oleh pengarang.
Pengarang secara jelas menguraikan atau mendepskripsikan watak tokoh dan (2)
cara tidak langsung (dramatik) yakni mengungkapkan karakter tokoh-tokoh secara tidak langsung lewat alur cerita. Jadi
car ini watak tidak diuraikan dan didepskripsikan secara serta merta begitu
saja, melainkan diungkap secara terselubung lewat cerita (Nurgiantoro, 2005 :
79).
Senada dengan hal tersebut, wahid (2004
: 77) menjelakan bahwa ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak
pelaku atau pribadi tokoh cerita, yaitu:
a. Tuturan
pengarang terhadap karakteristik perilakunya.
b. Gambaran
yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara
berpakaiannya.
c. Menunjukkan
bagaimana perilakunya.
d. Melihat
bagaimana tokoh itu berbicara sendiri.
e. Memahami
bagaimana jalan pikirannya.
f. Melihat
bagaimana tokoh lain berbicara.
2.5.4 Alur Cerita
Dalam
buku praktis Bahasa Indonesia Jilid
(2003 : 138) menjelaskan bahwa alur dan plot adalah jalinan peristiwa yang memperlihatkan
kepanduan (koherensi) tentunya yang di wujudkan oleh hubugan sebab akibat,
tokoh, tema dan ketiganya. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka oleh
pengarang melalui tahapan-tahapan peristiwa yang direka oleh pengarang melalui
tahapan-tahapan peristiwa yang saling berhubungan. Secara umum ada lima tahapan
alur:
1. Pengenalan
(eksposisi) yakni mengarang perrkenalan tokoh, setting, dan masalah yang
dihadapi tokoh.
2. Timbulnya
konflik yakni tokoh mengalami konflik dalam memecahkan masalah.
3. Konflik
memuncak (rumitan) yakni konflik tokoh bertambah rumit dan menajam.
4. Puncak
masalah (klimaks) yakni konflik tokoh mencapai titik puncak.
5. Pemecahan
masalah (konklusi) yakni penerapan akhir sebuah cerita dengan nasib
masing-masing tokoh.
Saxby
(Nurgiantoro, 2005 : 68) menjelaskan bahwa alur merupakan aspek utama dan utama
yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang menentukan menarik tidaknya
cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total mengikuti
cerita. Alur membuar segala sesuatu yang dikidahkan bergerak dan terjadi. Alur
menghadirkan cerita, dan cerita itulah yang dicari untuk dinikmati oleh pembaca.
Alur
berkaitan dengan masalah, urutan penyajian cerita, tetapi bikan saja hanya
masalah yang menjadi persoalan alur. Menurut lukens ( dalam Nurgiantoro, 2005 :
68) alur merupaka urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam
aksinya. Pembicaraan alur akan melibatkan peristiwa dan aksi yang dilakukan dan
ditimpajkan kepada tokoh cerita. Misalnya, peristiwa atai aksi apa saja yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita atau sebaliknya yang ditimpahkan kepada tokoh
cerita, baik peristiwa atau aksi yang hebat, menarik, menengangkan,
menjengkelkan, menakutkan, mengharukan, maupun untuk kategori yang lain, baik
unutk dan oleh tokoh protagonis maupun antagonis.
Menurut Nurgiantoro (2005 : 72)
kesederhanaan alur cerita dapat dilihat dari tiga hal:
1. Masalah
dan konflik yang dikisahkan sederhana berkisar pada permasalahan yang masih
bias dijangkau pembaca.
2. Hubungan
antara peristiwa harus jelas (misalnya hubungan sebab akibat).
3. Urutan
peristiwa linear dan runtut.
Dari
pemaparan yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa alur cerita adalah
rangkaian peristiwa yang direka atau diungkapkan dalam sebuah cerita. Alur
tersebut berguna untuk mengharapkan pembaca terhadap jalannya cerita. Semakin
jelas alurnya, semakin menarik juga cerita tersebut. Tetapi sebaliknya,
ketidakjelasan alur cerita yang diuraikan dan pembaca makin tidak paham dengan
apa yang dikisahkan.
2.5.5
Latar Cerita
Latar
adalah seegala karangan mengenai waktu , ruang dan suasana yang diceritakan
dlam sebuah karya sastra (Hendi, 1991 : 34). Pada dasarnya, setiap karya sastra
yang membentuk cerita selalu memiliki latar. Latar adalah situasi tempat, ruang
dan waktu terjadinya cerita. Dalam hal ini, penggunaan latar sangat mendukung
terciptanya karya sastra dn menarik perhatian para pembaca atau pemikat cerita
(sastra). Latar atau setting disebut
juga sebgai landas tumpu, mengarahkan pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams dalam Wahid, 2004 : 80) dalam prosa fiksi, biasanya latar dibedakan
empat tipe, yaitu latar alam (geographic
setting), latar waktu (temporal
setting), latar social (social
setting) dan latar ruang (spatial
setting).
Tarigan
(1984 : 136) menyatakan bahwa uraian atau lukisan dalam latar jangan hnya
dipandang dari segi pengertian kecocokan yang realitas saja, tetapi harus juga
dipandang dari segi pengertian apa yang dapat dipersembahkan sebaik-baiknya
bagi suatu cerita.
Latar
(setting) dalam sebuah cerita cukup
penting. Kepentingan latar atau setting
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memperjelas
bila, di mana, dan bagaimana terjadinya peristiwa yang dikisahkan.
2. Memperjelas
alur dan tokoh ceritanya.
3. Memperjelas
susunan dan peristiwa dalam cerita.
Dengan
beberapa paparan yang di kemukakan di atas, dapatlah di pahami bahwa latar atau
setting dalam sebuah cerita adalah
sesuatu keadaan yang berrhubungan dengan waktu, tempat, dan ruang terjadinya
peristiwa.
2.5.6
Sudut Pandang Cerita
Sudut
pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, dan siasat yang sengaja
dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan
pandangan hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan yang semua ini melalui sudut
pandang tokoh.
Menurut
wahid (2004 : 38) sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungannya
dengan cerita, dari aspek sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya. Sudut
pandang dilihat dati aspek posisi penceritaan. Sudut pandng ada tiga macam yaitu:
1. Pengarang
terlibat (other partipant), pengarang
ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atu tokoh lama, mengisahkan
tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang menggunakan kata ganti orang
pertama (aku atau saya)
2. Pengarang
sebagai pengamat (other obsevant), posisi pengarang sebagai pengamat dan
mengisahkan pengamatan di samping sebagi tokoh. Pengarang berada di luar cerita,
dan menggunakan kata orang ketiga (ia atau dia) dalam ceritanya.
3. Pengarang
serba tahu (other omniscient),
pengarang berada di luar cerita (impersonal),
tetapi serna tahu tentang apa yang di rasa dan diperkirakan oleh took cerita.
Dalam kisah pengarang memakai nama-nama orang lain dia (orang ketiga).
2.5.7
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa biasa yang digunakan
dalam bahasa tradisional atau literal untuk menjelaskan orang atau objek.
Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan
berrkesan (minderop, 2005 : 51).
Gaya
bahasa mencakup arti kata, citra, perumpamaan, serta symbol dan alegori. Arti
kata mencakup dari denotasi dan konotasi, sedangkan perumpamaan mencakup
simile, metafora dan personifikasi.
a. Simile
yakni perbandingan lansung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara
esensial. Perbandingan yang simile, biasanya terdapat kata “seperti” atau
“laksana” dan “ketimbang” atau “daripada”.
b. Metafora
yakni gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lainnya secar
langsung, yang dalam bahasa inggrisnya disebut to be. Contoh: kehidupan ini binatang lapar.
c. Personifikasi
yaitu suatu psoses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda
non-manusia, temasuk abstraksi atau gagasan. Contoh: “dewi malam berselimut awan”.
Selain
itu bahasa yang dikemukakan di atas, tarigan (1984 : 165), mengemukakan bahwa
dalam karya sastra ada gaya bahasa lain yang sering kita jumpai. Gaya bahasa
tersebut adalah:
a. Gaya
bahasa ironi, yakni jenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal dengan makna
yang berlainan, merupakan suatu kulitas dalam setiap pernyataan atau situasi
yang muncul dari kenyataan bahwa yang wajar, yang diharapkan tidak disebut atau
dilaksanakan, tetapi diganti dengan kebikannya.
b. Paradox,
yakni gaya bahsa pertentangan, misalnya: Neraka
itu adalah surge baginya.
c. Simbolisme
yakni penggunaan lambing-lambang tertentu yang memiliki makna yang
mengisaratkan sesuatu untuk mencapai pesan yang ingin di sampaikan.
BAB III
METODE DAN
TEKNIK PENELITIAN
3.1 Jenis dan Metode Penelitian
3.1.1 Jenis Data
Penelitian ini tergolong penelitian
lapangan. Karena peneliti langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data
yang diperlukan sesuai dengan masalah penelitian.
3.1.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif kuatitatif, yaitu menggambarkan secara objektif hasil
yang diperoleh siswa dalam memahami unsur intrinsik cerpen “Merdeka” karya Putu
Wijaya berdasarkan dengan pengumpulan data, pengkajian data, penyusunan data
dalam laporan hasil penelitian.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1
Populasi
Populasi penelitian ini akan dilakukan
pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Bau Bau Pada tahun ajaran 2011/2012.
3.2.2 Sampel
Teknik yang akan digunakan dalam
pengambilan sampel adalah stratified
random sampling yaitu mengambilan sampel dengan cara mengurutkan prestasi
siswa dari yang terendah sampai yang
tertinggi. Berdasarkan hasil dari populasi.
3.3 Intrumen Penelitian
3.3.1 Bentuk Teks
Tes yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah tes objektif yang berbentuk pilihan gandayang mengunakan empat
alternative jawaban. Hal ini dilakukan agar mendapatkan keluasan materi,
keobjektifan penelitian dan kemudahan dalam memperileh data. Instrumen dalam
penelitian terdiri dari 20 soal tentang memahami unsur-unsur intrinsic yang ada
dalam cerpen. Peneliti akan menyusun instrument tes berdasarkan kurikulum yang
berlaku di sekolah tempat penelitian, yakni KTSP.
3.3.2 Ujicoba
Untuk memperoleh mengumpul data yang
terperaya, peneliti akan mengumpulkan data instrument ini terlebih dahulu
diujicobakan pada sekolah dan kelas yang setingkat dengan responden yang akan
diteliti.
3.3.3 Vadilitas Tes
Sesuai tes atau instrument pengukuran
dikatakan memiliki vadilitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut menjalan
fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud
dilakukannya pengukuran tersebut.
Vadilitas yang akan digunakan untuk
menguji instrument penelitian ini adalah vadilitas isi. Analisis vadilitas ini
akan dilakukan dengan cara menyesuaikan materi yang dikembangkan dalam
instrument penelitian dengan materi unsur intrinsic cerpen yang termuat dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Criteria
yang digunakan untuk mengetahui vadilitas tes adalah sebagai berikut:
0,80
– 1,00 = sangat tinggi
0,60
– 0,79 = tinggi
0,40
– 0,59 = sedang
0,20
– 019 =
rendah
0,00
– 0,19 = sangat rendah
Perhitungan
vadilitas tes menggunakan product moment dari
Peorson (Ramly 200 : 132).
3.3.4 Reliabilitas
Rumus yang akan digunakan untuk
mengetahui reabilitasi tes yang diujicobakan dalam penelitian ini adalah
formula KR 21.
Reliabilitas (KR21)
= I –
Di mana:
K =
Jumlah butir soal dalam teks
M = Maen skor tes
SD = SD dari skor tes
I = Bilangan Konstan
3.4 Teknik Pengumpulan
Data
Teknik yang akan dilakukan untuk
pengumpulan data dengan cara member kepada siswa berdasarkan instrument soal
yang telah di buat. Tes dilakukan seltelah responden mendapat petunju dari
peneliti. Siswa atau responden menyelesaikan keseluruahan butir tes 2 x 40
menit (80 menit).
3.5 Teknik Analis Data
Setelah data diperoleh , selanjutnya
dipisahkan jawaban responden bredasarka urutan yang tertinggi sampai yang terendah
untuk memudahkan dalam menganalisis. Pengoreksian data dilaksanakan terhadap 20
butir tes tiap-tiap butir tes yang dijawab benar dineri skor 1 dan jawaban yang
salah diberi skor 0. Dan untuk mengetahui tingkat kemampuan memahami unsur
intrinsic cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya pada siswa Kelas VII SMP Negeri 1
Bau Bau digunakan rumus membagi perolehan siswa pada setiap komponen dengan
skor maksimal per komponen dikali 100%.
3.6 Tempat Pengambilan Data
Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Bau
Bau, Kel. Wangkanapi, Kec. Wolio, Kab. Buton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar